Senin, 16 Februari 2009

Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU


Sembilan butir Pedoman Berpolitik Warga NU yang dicetuskan dalam Muktamar NU XVIII di Krapayak Yogyakarta tahun 1989:

1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;

2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat;

3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;

4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;

6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah;

7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;

8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama;

9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyatukan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Australia Undang Gus Dur Bicara di KTT Antar-Iman

Senin, 16 Februari 2009 12:39
Brisbane, NU Online
Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid termasuk di antara sekitar 20 tokoh lintas agama, teolog, akademisi, dan pengiat perdamaian dari kawasan Asia Pasifik yang diundang sebagai pembicara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Antar-Iman di Brisbane, 18-21 Februari mendatang. KTT ini mengangkat tema "Satu Kemanusiaan, Beragam Keyakinan" itu.

Disamping Gus Dur, KTT yang diselenggarakan Pusat Multi-Keyakinan Universitas Griffith (MFC-GU) dan Pure Land Learning College Australia itu juga mengundang belasan tokoh lain.

Di antara mereka itu adalah Prof James Haire dari Pusat Kristen dan Budaya Australia, Komisioner Tom Calma (Komisi HAM Australia), Felix Machado (Keuskupan Nashik, India), Jeremy Jones (Dewan Eksekutif Yahudi Australia), Yi Thon (Dewan Antar-Iman Kamboja), dan Dr Loreta Castro (Pusat Pendidikan Perdamaian Filipina).

Konferensi yang penyelenggaraannya didukung puluhan organisasi keagamaan, serta lembaga pendidikan dan riset di Australia, Vietnam, China, Thailand, dan Bangladesh itu akan diisi dengan dialog, tur sehari ke berbagai rumah ibadah dan pameran tentang peran agama dalam resolusi konflik dan perang.

Dari KTT itu, para peserta diharapkan menemukan titik temu nilai dan prinsip dari agama-agama yang ada dan merumuskan usul kebijakan di tingkat lokal, nasional, dan regional bagi mendorong upaya mewujudkan perdamaian dan harmoni di Australia dan hubungan Australia dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. (ant/mad)

Selasa, 20 Januari 2009

PKB, Optimistis di Tengah Problem

Selasa, 20 Januari 2009 12:40

Kompas, 19/01/09 -Seni kehidupan adalah mengatasi masalah ketika dia muncul, bukannya menghancurkan semangat dengan mencemaskan hal-hal yang mengkhawatirkan terlalu jauh ke depan. Inilah gambaran yang pas diberikan kepada Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dan gerbong panjangnya.

Ia anak muda yang dirayu banyak pihak untuk menjadi presiden Indonesia ketujuh dan seorang pemimpin yang penuh optimisme dalam memandang masalah di hadapannya.

Tak sedikit yang meragukan kemampuan PKB di bawah Muhaimin akan memperoleh suara yang besar. Bahkan, sejumlah jajak pendapat menempatkan PKB sebagai partai yang diperkirakan akan mendapat dukungan suara kecil. Polling dan suara mengecilkan semacam itu bukanlah hal baru.

Keraguan kepada PKB pada pemilu tahun ini sedikit banyak dipengaruhi konflik internal PKB, dan PKB dianggap kehilangan tokoh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Toh, dalam ilmu politik selalu dikenal konsensus. Konflik bukan berarti kematian bagi organisasi, tetapi justru menjadi alasan untuk membangun konsensus baru. Apalagi, posisi Gus Dur bagi kader PKB tetap sebagai orangtua yang menjadi rujukan spiritualitas, dan orangtua yang kini sedang mengajar dan menguji ”anak politiknya” untuk mandiri.

Berikut pembicaraan dengan Muhaimin di rumah dinasnya, di Jakarta, Kamis (15/1).

Anda meyakini Gus Dur sedang memberikan ujian?

Ya, sikap Gus Dur sekarang sama seperti ketika KH Hasyim Muzadi memenangi muktamar Nahdlatul Ulama (NU). Beliau bahkan sampai mengancam Muktamar Luar Biasa NU. Hari ini ternyata semakin lama orang makin banyak yang sadar, itu cara Gus Dur menguji Pak Hasyim tentang kemampuan dan kemandirian dalam mengelola organisasi. Hal sama juga terjadi di PKB saat ini. Orang makin banyak memahami dan memaklumi itulah gaya Gus Dur.

Apa tidak berpengaruh pada suara PKB nantinya?

Jika ada, mungkin sedikit di Jawa Timur. Tetapi, kami meyakini suara yang didukung dengan basis NU yang kuat tetap dalam barisan PKB. Seruan golput yang dilontarkan Gus Dur, kurang efektif, karena nahdliyin (warga NU) itu orang yang sadar politik dan tahu bagaimana menyalurkan aspirasi politiknya.

Partai mana yang dianggap sebagai pesaing berat PKB?

Kalau bicara pesaing di basis konstituen, memang ada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Jatim dan Jawa Tengah. Ada Partai Golkar di Jateng dan Jawa Barat. Namun, di daerah di luar Jawa kami memiliki basis baru yang menggembirakan, seperti di Lampung, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, dan Maluku.

Namun, terus terang kami mengkhawatirkan perkembangan Partai Demokrat yang tidak terlihat kegiatannya di daerah, tetapi di polling, suaranya tetap besar. Ini membuat kami harus waspada. Adapun Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), mereka kekuatan baru yang mungkin mengancam, tetapi tampaknya muncul sedikit titik di Situbondo dan Pasuruan. Bebannya tidak terasa.

Ancaman apa yang merisaukan Anda?

Sumber kekhawatiran saya justru apatisme masyarakat secara umum. Mereka bisa golput, dan ini sebetulnya tidak hanya dihadapi PKB, tetapi semua partai. Masyarakat tampaknya sedang menghadapi kelelahan politik dengan menghadapi berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada). Bahkan di Jatim, yang menjadi basis utama PKB, pilkada gubernur juga melelahkan. Namun, juga menjadi pelajaran bagaimana kami mengelola napas organisasi. Inilah yang membuat kami harus berhati-hati mengatur energi dan tidak sembarangan mengeluarkannya untuk kampanye.

Apa yang Anda lakukan untuk mengatasinya?

Kami menyiapkan semua yang bisa dilakukan. Menyiapkan calon anggota legislatif (caleg) yang menurut kami mempunyai pengaruh dan basis dukungan yang kuat. Kami punya struktur organisasi dari pusat sampai ranting, yang akan menjadi jaringan pendukung penting dalam mengoordinasikan kerja partai. Secara kultur, kami tetap memelihara hubungan baik dengan nahdliyin, kalangan pondok pesantren, jemaah pengajian, dan pengurus lembaga sosial keagamaan yang selama ini menyumbang suara bagi PKB.

Ketiga hal itu sudah bergerak. Apalagi setelah ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.(*)

Sabtu, 10 Januari 2009

Gus Dur: Israel Mestinya Berlaku Adil

Jakarta, NU Online
Agresi Militer yang dilancarkan oleh Israel ke Palestina merupakan tindakan yang tidak didasari rasa keadilan. Demikian dinyatakan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pengajiannya di Pesantren Ciganjur, Jl. Warung Silah Jakarta, minggu lalu.

Menurut Gus Dur, Mestinya Israel tidak menggunakan standar ganda dalam sikap-sikap politiknya di hadapan dunia Internasional. Sehingga Israel akan lebih bisa diterima banyak pihak.

"Beberapa waktu lalu saya katakan kepada ribuan warga Yahudi Amerika Serikat di Los Angeles, jika pemerintah Israel ingin diakui sebagai negara yang berdaulat, mestinya Israel juga harus mengakui Palestina sebagai negara yang merdeka," terang Gus Dur.

Lebih lanjut Gus Dur memaparkan, meskipun Israel mampu menduduki Palestina, namun mereka tidak akan aman dari serangan gerilyawan Palestina.

"Di sana banyak sekali faksi-faksi yang akan mempertahankan kehormatan tanah Palestina, apapun taruhannya. Meskipun Hamas mungkin hanya bagian kecil dari kekuatan Palestina, namun rakyat Palestina takkan tinggal diam dijajah bangsa Yahudi," tambah Gus Dur.

Dalam kacamata Gus Dur sendiri, Hamas bukanlah tipe pemerintahan yang bersih dan memegang teguh kesepakatan- kesepatan dengan pihak lain.

"Hamas itu sebenarnya juga pembohong, mereka banyak mengingkari kesepakatan- kesepakatan yang mestinya masih berlaku dan harus ditaati. Jika sudah begini, lalu siapa yang paling dirugikan? tentunya kan rakyat kecil," tandas Gus Dur.
(min)

Gus Dur: Waspadai Para 'Penunggang' Isu Israel


Ahad, 4 Januari 2009 15:09 Jakarta, NU Online
Mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengimbau masyarakat agar tidak gampang terprovokasi oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan isu penyerangan Israel ke Palestina demi kepentingan kelompoknya.

Demikian pernyataan sikap mantan Presiden RI ke 4 ini dalam rilisnya di Jakarta, Ahad (4/1).

"Masyarakat jangan terprovokasi oleh pihak-pihak yang berusaha menunggangi isu Palestina ini yang tujuannya demi kepentingan kelompoknya sendiri," ujarnya.

Upaya terbaik untuk membantu tragedi kemanusiaan di Palestina menurutnya adalah pemberian bantuan semampunya dengan mengirimkan bantuan obatn-obatan dan kebutuhan asar lainnya. Tak lupa, Gus Dur juga meminta agar kaum muslimin memanjatkan doa bagi keselamatan rakyat Palestina.

Gus Dur juga menuntut agar PLO, Otoritas Palestina, dan Fatah di bawah kepemimpinan Presiden Mahmoud Abbas untuk tidak berdiam diri dan membiarkan serangan Israel yang ditujukan pada kelompok Hamas, yang merupakan saingan Fatah. "Apalagi memandang serangan Israel itu hanya sebagai urusan Hamas saja," ujarnya.

Bagi kelompok Hamas, Gus Dur meminta agar kelompok yang dikenal cukup radikal ini untuk meninggalkan cara-cara kekerasan sehingga kaum konservatif Israel tidak menjadikannya sebagai dalih melakukan pembalasan.

"Hamas perlu kembali pada perjuangan diplomatik dan perundingan bukan dengan jalur kekerasan yang hanya akan menjadikan rakyat Palestina sebagai korban," ujarnya.(mad)

Rabu, 07 Januari 2009

SELAMAT TAHN BARU






Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Kawan, Sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk
memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita dihisabNya (A. Mustofa Bisri, Antologi Puisi Tadarus)

Tahun ini, tahun baru Hijriyah hampir bersamaan dengan tahun baru Masehi. Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk-pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering diidentikkan dengan tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alon-alon.

Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar –meski biasanya tidak—lalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib –biasanya tidak—dan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.

Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau efaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ini-nya lebih buruk dari kemarin-nya, celakalah orang itu.”

Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini sampai dengan penghujung tahun 1428, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin --yang merupakan mayoritas ini-- selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini.
Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara-pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halqah-halqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai..

Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.

(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beri’tikaf, timbul su’uzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).

Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan beaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan ‘syiar’ sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan.

Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program ’keagamaan’. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan ‘siraman ruhani’ dan dzikir bersama yang menghibur.

Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain.

Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan.

Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.

Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan ‘Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram.
Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak –atas nama amar ma’ruuf dan nahi ‘anil munkar-- mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.

Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin –terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam— seperti merasa paling memiliki negara ini.

Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.

Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal.

Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.
Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan.

Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama.

Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana.

Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas.
Di atas, korupsi merajalela (Bahkan mantan presiden 32 tahun negeri ini dikabarkan menyandang gelar pencuri harta rakyat terbesar di dunia). Sementara di bawah, maling dan copet merebak.

Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun.

Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini. Cukuplah satu berita ini: KPK baru-baru ini menangkap Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap.

Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..

Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.

Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil ‘aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia.

Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.

Waba’du; jangan-jangan selama ini –meski kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”—hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?

Selamat Tahun Baru ! (www.gusmus.net)

Jumat, 02 Januari 2009

PKB KOTA BOGOR RAYAKAN TAHUN BARU HIJRAH & MASEHI SEKALIGUS

Secara kebetulan, tahun ini tahun baru hijrah dan Maesehi hampir bersamaan. Tahun baru 1 Muharram 1430 H jatuh pada tgl 28 Desember 2008. Dan kedua tahun baru ini bagi PKB mempunyai arti yang cukup besar. Semangat tahun baru kali ini adalah bagaimana Kita Hijrah Menuju Kebangkitan Bogor.Untuk memeriahkan acara ini, DPC PKB Kota Bogor dan masing-masing caleg mengadakan peringatan yang cukup berari. di DPC PKB Kota Bogor, dipelopori GARDA BANGSA mengadakan acara syukuran sambil nyantap sate kambing dan bakar jagung. Tidak kurang sekitar 50 orang hadir.Di tempat beberapa caleg juga mengadakan hal serupa. di tempat keluarga Rustam Efendy mengadakan acara yang cukup meriah dan dihadiri sekitar 1000 warga sekitar gunung batu dan perwakilan pengurus PAC dan Ranting. Acara dikemas rfeleksi akhir tahun oleh Ketua DPC PKB Ir Heri Firdaus dan Tausiah akhir tahun dari ulama senior KH Abdul Rouf. acara juga diisi dengan santunan anak yatim, pegeralaran silat dan hiburan serta pesta kembang api.Malam tahun baru kali ini juga spesial karena tepat 99 hari lagi akan menghadapi PEMILU 2009. Dengan demikian, kita akan menyiapkan 99 hari yang dimulia hari ini untuk mensukseskan PEMILU 2009. Dan ini akan menambah optimisme PKB Kota Bogor untuk meraih target perolehan kursi DPRD Kota Bogor.

Heri Firdaus: PKB Kota Bogor Merespon Positif Keputusan MK

Keputusan Mahkamah Konstitusi, yang saat ini dipimpin oleh Prof Mahfud MD, yang tak lain adalah kader PKB, tentang penetapan caleg terpilih berdasar suara terbanyak menjadi kado yang sangat istimewa bagi proses demokrasi di Indonesia. Karena dengan demikian, suara rakyat benar -benar berarti dan dapat terwakili secara benar. demikian tanggapan dari Ir Heri Firdaus, Ketua DPC PKB Kota Bogor.Seanarnya, bagi PKB Kota Bogor, dengan adanya putusan ini hanya menjadi penguat saja, karena secara internal PKB Kota Bogor telah membuat aturan sendiri bahwa caleg PKB yang lolos ke DPRD adalah caleg yang memperoleh suara terbanyak. mekanisme yang digunakan adalah surat kesepakatan dan surat pengundurun diri. Namun dengan keluarnya keputusan MK ini, maka tidak perlu lagi surat kesepakatan maupun surat pengunduran diri caleg.Dengan demikian, tidak ada perubahan strategi yang signifikan bagi DPC PKB Kota Bogor. Namun yang jelas, akan menambah panas persaingan dengan partai lain. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi PKB Kota Bogor untuk mendapat suara yang signifikan, sehingga target perolehan 5-6 kursi akan tercapai.


Blogspot Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and PDF Downloads