Jumat, 17 Oktober 2008

KH. Lukman Hakim dan Islam Kebelet


10 Oktober 2008 14:26:25

www.gusmus.net


Orangnya kalem dan sederhana. Tapi, justru kekalemannya itu bikin orang penasaran. Ya, begitulah keseharian Lukman Hakim yang kesohor sebagai sufiolog (ahli tentang tasawuf), dosen dan juga penulis banyak buku. Dalam sebuah acara pengajian di bilangan Matraman, alumnus Pesantren Tebuireng, Jombang ini hadir menjadi pembicara.

Kali ini, ia mengudar persoalan tasawuf dalam kaitannya dengan pencapaian dunia yang damai. “Kalangan pluralis sering menghubungkan perdamaian dengan ayat,” Wahai manusia sesungguhnya kalian diciptakan terdiri dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kalian berkelompok- kelompok dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal (lita’arafu)”. Dalam perspektif sufi, tafsir terhadap kata-kata “lita’arafu” bukan sekedar saling kenal-mengenal dan saling mencerdaskan, tetapi saling mengenalkan ma’rifatullah kepada sesama,” urainya didepan sekitar 50-an peserta.

Pemimpin Majalah Sufi ini, melihat Islam sekarang dalam tiga model. Pertama, Islam yang lagi kebelet mau ke kamar kecil dengan segala ketidaksabarannya. Biasanya, Islam model ini dengan modal sedikit pengetahuan tentang Islamnya pengen segalanya harus selesai dengan atas nama Islam. Kedua, setelah sampai di dalam WC, ada model Islam ngeden. Islam model ini, biasanya sering memaksakan sesuatu atas nama Islam yang sesungguhnya itu bukan Islam, tetapi nafsu Islam. Biasanya Islam model ini pengen cepat selesai segala urusanya dengan instan. Seperti kita lihat sekarang, ada gerakan-gerakan ritual dzikir instan. Dengan dzikir massal, lalu Tuhan disuruh bekerja. Ketiga, model Islam keluar dari WC, lalu melupakan WC dan penjaganya. Penjaga WC ternyata para kyai. “Kayak sekarang, para kyai diajak rembugan untuk ikut menyelesaikan persoalan bangsa. Tapi, setelah selesai, para kyai selalu ditinggalkan. Pahahal, kalau kebelet kembali lagi ke WC,” ujarnya dengan memakai metafora. Yah, begitulah, pak sufi. (mz)

Kamis, 02 Oktober 2008

Empat Karakter Capres AS


Oleh KH. Abdurrahman Wahid

Saat ini Amerika Serikat sedang mendekati pemilu presiden dan wakil presiden karena masa jabatan George W Bush akan berakhir pada 20 Januari 2009. Maka, pemenang pemilu yang akan menggantikannya.

Kalau John McCain menang, ia akan menjadi presiden dan Sarah Palin wakil presidennya. Sementara jika Barack Obama yang menang, ia akan menjadi presiden dan Joe Biden jadi wakilnya. Ini seperti mengulang terpilihnya Harry S Truman sebagai presiden, menghancurkan Thomas E Dewey dari Partai Republik.

Kalau Truman adalah ”perwakilan” dari Independence, sebuah kota kecil di negara bagian Missouri, Dewey adalah ”perwakilan” dari New York yang merupakan sebuah kota besar. Hal ini terjadi pula pada John McCain-Sarah Palin.

John McCain adalah seorang yang berasal dari Arizona, sebuah negara bagian yang memiliki daerah-daerah kering, di samping tanah-tanah pertanian yang sangat luas. Sarah Palin justru sebaliknya, ia adalah gubernur negara bagian Alaska yang dipenuhi salju Kutub Utara.

Pantainya yang panjang itu memiliki sumber-sumber minyak bumi. Karena Anchorage sebagai ibu kota negara bagian berukuran kecil saja dan sepi, Sarah Palin pantas menjadi ”perwakilan” sebuah kota kecil.

Bagaimanapun, dengan bersatunya warga padang pasir dan daerah bersalju John McCain dan Sarah Palin, yang terjadi adalah penyatuan ideologis dua orang yang pantas disebut sebagai ”orang kota kecil”. Justru di sinilah terlihat sangat menarik polarisasi keempat calon tersebut.

Di satu pihak, Obama yang berasal dari negara bagian Ohio itu harus dapat memunculkan diri sebagai ”perwakilan” kaum buruh kecil dan generasi tua. Padahal, usianya belum lagi 50 tahun. Joe Biden, sebagai seorang yang dianggap tua, profesi sebagai senator yang sekian lama dijalaninya (23 tahun), pada akhirnya membuat ia tampil sebagai profesional yang dianggap menguasai masalah-masalah luar negeri.

Walaupun Barack Obama juga seorang senator, ia baru sekali memegang jabatan itu sehingga belum diketahui penguasaan dirinya atas soal-soal diplomasi. Ini berarti ia bisa dinilai masih terlalu baru dalam kalangan itu untuk dijadikan seorang penyusun kebijakan presiden.

Sangatlah menarik untuk mengikuti kenyataan ini, karena ternyata lingkungan seseorang dapat menentukan ke arah mana ”bergerak” dalam karier politiknya. Inilah yang membedakan Dwight Eisenhower sebagai Presiden AS.

Karena ia orang militer, perilakunya sehari-hari menjadi sangat dipengaruhi profesinya itu. Sementara sebagai seorang pemilik toko kecil Haberdasher, Harry Truman diharapkan sangat teliti dalam urusan sehari-hari.

Hal ini tentu berbeda dari Franklin D Roosevelt, yang sangat jarang turun dari kursi roda. Di bawah Roosevelt, kebersihan kantor Gedung Putih dilakukan para asisten Gedung Putih. Walaupun mereka berbeda dalam menjalankan aktivitas sebagai presiden di Gedung Putih, kedua-duanya adalah seorang presiden negara besar seperti AS.

Perbedaan-perbedaan seperti inilah yang harus dikenal ”pengamat politik” AS, kalau diinginkan tulisan-tulisan mereka menjadi berbobot. Tentu saja hal itu diformulasikan seiring rencana-rencana kerja mereka jika telah mencapai Gedung Putih tersendiri, selain asumsi-asumsi domestik yang dibawa masing-masing.

Kalau Obama dan John McCain tidak melalui pemilihan presiden yang dinamis dan terbuka, perkembangan politik di Negeri Paman Sam itu memiliki dinamika akan bertindak sendiri melawan undang-undang dasar negara itu.

Maka, di negeri kita batasan-batasan UUD 1945 masih belum selesai dibuat. Apa yang dilakukan Thomas Jefferson dengan hak-hak dasar individual dari warga negara dan Alexander Hamilton dengan hak-hak dasar Negara bagian adalah batasan-batasan dalam pembahasan sebuah Undang-Undang Dasar AS.

Di luar kedua hal itu, para warga negara AS tidak mau mendiskusikan konstitusi negara tempat mereka hidup. Di negeri kita, belum pernah ada upaya untuk melakukan pembatasan-pembatasan seperti itu. Maka, kita tidak tahu pembahasan itu sudah sampai di mana.

Sekarang tampaknya pembahasan mengacu kepada adakah konstitusi kita dapat dibatasi pembahasan-pembahasan atasnya? Jika dibahas tentang batas-batas hak warga negara, hal itu harus mengacu bahwa konstitusi berlandaskan kemerdekaan.

Jadi, hak kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah Indonesia, termasuk hak-hak dasar Front Pembela Islam (FPI), harus dilindungi. Benarkah ini batasannya? Perlu ada kejelasan, bukan?[]

*Ketua Umum Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa
(Seputar Indonesia, Jum’at, 26 September 2008).[]


Blogspot Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and PDF Downloads